Mengapa jumlah kasus HIV/ AIDS terus meningkat dari tahun ke tahun? Penularan HIV terjadi melalui kontak langsung dengan cairan tubuh yang yang terpapar virus. Berdasarkan cara infeksi tersebut, penularan HIV berisiko tinggi terjadi melalui aktivitas seksual, penggunaan jarum suntik bersama dengan penderita, maupun transmisi vertikal dari ibu ke anaknya. Angka penularan HIV terus meningkat oleh karena meningkatnya perilaku seks bebas dan konsumsi NAPZA pada era globalisasi ini. Saat ini yang terinfeksi penyakit HIV bukan hanya para pembeli dan penjaja seks tetapi suami yang menganut seks bebas telah menularkan penyakit itu ke istri dan anaknya. Mereka yang berperilaku seks bebas seharusnya bersedia memakai kondom. Penggunaan kondom dalam kurun 2002-2008 tidak bergerak naik. Penggunaaan kondom selalu berkutat di kisaran 20-30 persen padahal perilaku seks bebas terus meningkat. Selain itu, hingga kini, belum ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit ini. Obat anti-retrovirai (ARV) yang diberikan pada penderita HIV/AIDS hanya mampu menekan perkembangan virus. Penularan yang cepat tanpa ada pengobatan, menyebabkan angka kesakitan HIV/AIDS terus meningkat.
Diperlukan deteksi dini penemuan kasus penderita HIV/AIDS dalam upaya mengendalikan penyebaran penyakit HIV/AIDS. Mengapa deteksi dini ini begitu penting? Deteksi dini dapat mencegah penderita HIV yang tidak tahu bahwa dirinya terinfeksi untuk tidak menularkan HIV kepada orang lain karena penderita HIV sudah berpotensi untuk menularkan virus HIV kepada orang lain meskipun belum menunjukkan gejala klinis. Selain itu, dengan adanya deteksi dini, penderita HIV/AIDS dapat menjani terapi obat antiretroviral (ARV) sedini mungkin karena pengobatan sejak dini dapat meningkatkan efektivitas pengobatan HIV/AIDS dan meningkatkan harapan hidup penderita.
Di Indonesia dan sebagian besar negara lain, telah diadakan program konseling dan tes HIV sukarela atau VCT (Voluntary Counseling and Testing). Program VCT ini dilakukan secara sukarela dan rahasia. Namun, karena sifatnya sukarela, VCT belum dapat menjaring terlalu luas. Masyarakat belum secara sukarela penuh untuk melakukan VCT karena minimnya pengetahuan, stigma masyarakat, serta perasaan malu dan takut. Hal ini tentu saja diperparah dengan suatu fakta bahwa gejala – gejala penyakit akibat infeksi HIV baru muncul setelah beberapa tahun terinfeksi HIV. Sehingga, para penderita HIV tidak merasa sakit sehingga menambah keengganan mereka untuk melakukan VCT ini.
Ketua Bidang Penanggulangan Penyakit Menular PB IDI, Pandu Riono, penerapan pola VCT yang dijadikan ujung tombak dalam tingkat penemuan kasus penderita HIV di Indonesia belum efektif sebab jangkauan layanan pemeriksaan HIV dengan program VCT masih terbatas. Terlihat dari kesenjangan antara estimasi jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia dengan jumlah orang dengan HIV/AIDS yang menjalani pemeriksaan dan mengakses obat antiretroviral (ARV) gratis dari pemerintah. Diperkirakan terdapat 270 ribu orang terpapar HIV/AIDS di Indonesia. Namun, hanya sekitar 27 ribu atau 10 persen penderita yang bisa ditemukan. Dari jumlah itu, hanya 13 ribu di antaranya yang mendapat pengobatan. Masyarakat berisiko tinggi yang dapat dijangkau dengan program pencegahan yang sudah ada tidak cukup banyak (kurang dari 10 persen), dan terlalu sedikit yang mengakses program VCT yaitu sebanyak 18,1 persen dari pengguna Napza suntik, 14,8 persen pekerja seks, bahkan hanya sebesar 3,3 persen pelanggan pekerja seks yang mengakses VCT. Dengan mekanisme VCT, provider kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas dan tenaga medis lebih bersifat pasif. Pola VCT ini hanya menghimbau masyarakat secara sukarela untuk memeriksakan diri ke rumah sakit dan bersedia menjalani tes dan konsultasi sehingga penemuan kasus HIV di Indonesia dengan VCT sangat rendah karena stigma dan minimnya pengetahuan menyebabkan banyak orang yang enggan memeriksakan diri.
Menurut Ketua Umum Perhimpunan Konselor VCT HIV Indonesia (PKVHI), dr. Diah Setia Utami, Sp.KJ, MARS, pada tahun 2010 hanya ada 192.076 orang yang melakukan tes HIV di layanan VCT. Data tersebut jauh dari yang ditargetkan Kemenkes pada tahun 300.000 orang. Padahal, PKHVI telah memiliki lebih dari 2.000 orang yang terlatih untuk menjadi konselor VCT HIV dan sudah tersedia 388 klinik VCT aktif yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Menurut Menkes, dr. Endang R. Sedyaningsih, MPH, Dr.PH, berdasarkan estimasi ODHA (orang dengan HIV/AIDS), jumlah populasi rawan tertular HIV di Indonesia sudah mencapai 6,3 juta orang. Namun dari jumlah tersebut sampai Desember 2010 yang melakukan konseling dan tes sebanyak 535.943 orang dengan hasil HIV positif tercatat 55.848 orang. Berdasarkan data tersebut, cakupan konseling dan tes HIV yang dilakukan pada populasi rawan secara kumulatif di bawah 10 persen. Sehingga dapat disimpulkan bahwa daya jangkau VCT kurang luas sehingga dibutuhkan konsep lain yang lebih baik.
Oleh karena berbagai kekurangan dari VCT tersebut, konferensi AIDS Internasional ke-17 di Mexico menghasilkan suatu usulan untuk mengganti program VCT menjadi PICT (Provider Initiated Counseling and Testing). Program PICT ini memiliki daya jangkau lebih luas dari VCT karena inisiatif tes berasal dari petugas kesehatan sehingga mampu menghindari keterlambatan diagnosis. Peran provider kesehatan dalam PICT lebih efektif karena merupakan penentu pelaksanaan program ini.
Sebagai bukti, menurut Prof. Zubairi Djoerban Sp.PD, KHOM sebagaimana dikutip kaltimpost.com, sebuah penelitian di Los Angeles dan New York mengenai VCT yang dibandingkan dengan Oakland yang menerapkan PICT, menyatakan manfaat PICT yang jauh lebih baik. Kalau pengobatan dengan cara VCT bisa dikatakan inisiatif awal dari klien, maka pada tes rutin inisiatif awal untuk tes HIV dari petugas kesehatan, karena itu juga disebut PICT. Pada periode yang sama, VCT dapat menjaring 1.500 pasein sedangkan PICT dapat menjaring 31.000 pasien. Tes rutin mengidentifikasi HIV positif, 4 kali lebih banyak dan prevalensi yang konsisten.
Bagaimana penerapan PICT ini? Provider kesehatan berperan aktif untuk melihat apakah pasien bersangkutan memiliki gejala-gejala terinfeksi HIV ataupun faktor risiko tinggi terpapar HIV. Setiap pasien yang datang ke dokter dengan indikasi gejala-gejala infeksi HIV dapat segera dideteksi apakah positif atau tidak sehingga deteksi dini HIV dapat lebih efektif. Penderita penyakit yang memiliki kemungkinan menderita HIV/ AIDS adalah penderita penyakit infeksi menular seksual (IMS), tuberculosis, dan beberapa penyakit lainnya. Selain itu, provider kesehatan juga dapat “menjemput bola” dengan mendatangi orang-orang yang memiliki risiko tinggi tertular HIV, seperti WPS, lelaki pengguna WPS, homoseksual, pengguna NAPZA suntik. PICT juga dapat disediakan sebagai salah satu asuhan keperawatan sebelum melahirkan karena meningkatnya Mother to Child Transmission (MTCT) pada beberapa tahun terakhir.
Surat izin (written consent) dari pasien tidak diperlukan untuk tes HIV dalam PICT ini. Program ini hanya memberikan alternatif “opt-out” form, dimana pasien berhak menolak melakukan tes HIV. Konsultasi sebelum tes (pre-test counseling) juga tidak ada dalam PICT namun hanya ada konsultasi setelah tes (post-test counseling) sehingga keputusan untuk pemeriksaan HIV dapat lebih cepat dilakukan. Walaupun begitu, hak asasi pasien tetap merupakan hal utama dalam melaksanakan program ini. Keputusan untuk melaksanakan tes HIV merupakan hak pasien sehingga pasien tetap dapat menolak dengan menulis surat penolakan tindakan pemeriksaan HIV.
Langkah – Langkah Optimalisasi PICT di Indonesia
Pada tahun 2010 lalu, Kemenkes menyatakan bahwa konsep PICT akan mulai diimplementasikan secara lebih luas pada tahun 2011 ini. Untuk itu, diperlukan adanya langkah-langkah strategis yang dapat mengoptimalkan penerapan PICT di Indonesia. Menurut penulis, langkah – langkah tersebut adalah: peningkatan political will dari pemerintah, perluasan cakupan/ daerah penyedia layanan PICT, peningkatan pada aspek preventif dan promotif, serta optimalisasi CST (care, support, and treatment).
Political will merupakan suatu komitmen yang berasal dari pemerintah dalam mendukung terlaksananya suatu program dan tercapainya suatu tujuan tertentu. Political will sangat dibutuhkan dalam penanggulangan setiap masalah kesehatan di dunia. Hal ini dapat dilihat salah satunya pada DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) untuk TB dengan poin pertama pada DOTS adalah mengenai komitmen pemerintah. Pada optimalisasi PICT untuk penanggulangan HIV/AIDS, peran pemerintah sangat besar terutama dalam penyediaan dana ataupun pembuatan perangkat serta sistem. Akan tetapi, pada kenyataannya terjadi sebaliknya: peran pemerintah dalam penanggulangan HIV/AIDS saat ini masih sangat lemah. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan alokasi anggaran kesehatan pada APBN yang rendah. Anggaran kesehatan yang ditetapkan untuk tahun 2011 ini memang naik 5 % dari tahun lalu dari 2,1 % atau sekitar 21 triliun menjadi 22,5 triliun. Akan tetapi, sebenarnya nilai APBN tahun ini meningkat, sehingga kenaikan 5 % dari tahun lalu merupakan pengurangan dari presentase APBN Indonesia menjadi hanya 1,87 %. Padahal amanat dari konstitusi dalam UU kesehatan No. 36 tahun 2009, mengharuskan bahwa anggaran kesehatan minimal adalah 5 % dari seluruh total APBN, bukan hanya naik 5 % dari anggaran tahun sebelumnya. Hal ini membuktikan bahwa political will pemerintah Indonesia di bidang kesehatan sangat rendah. Padahal di samping masalah HIV/AIDS, setengah dari goals pada MDG’s merupakan target yang terkait dengan kesehatan.
Pada penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia, anggarannya masih sangat tergantung pada bantuan luar negeri. Bantuan luar negeri tidak boleh menjadi suatu ketergantungan, karena bantuan ini dapat berhenti sewaktu-waktu. Pada tahun 2007, dana yang dibutuhkan KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) sekitar Rp 840 miliar. Dari jumlah tersebut, pemerintah baru dapat memenuhi sekitar 26 %, sedangkan menurut data Bappenas, bantuan luar negeri untuk penanggulangan AIDS lebih dari 50 juta USD atau sekitar 70 % pada waktu itu. Solusi yang dapat dicoba adalah dengan mengimplementasikan SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) terutama di bidang kesehatan. SJSN merupakan suatu sistem di mana seluruh masyarakat membayar iuran/ premi rutin secara rutin dan uang yang terkumpul digunakan untuk memenuhi seluruh kebutuhan sosial masyarakat, termasuk kesehatan.
Layanan VCT/ PICT di negara lain, termasuk USA, dibiayai oleh pemerintah, dimana peran petugas kesehatan tinggi sekali. Di USA, seluruh biaya tes juga disubsidi pemerintah sehingga dapat gratis atau minimal terjangkau, termasuk di dalamnya untuk tes CD4+. Hal ini tidak terjadi di Indonesia, di mana tes CD4+ dan virus load masih harus ditanggung secara mandiri untuk pasien yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Oleh karena itu, angka transmisi HIV/ AIDS di negara tersebut dapat terkontrol.
Selain masalah anggaran untuk PICT, pemerintah dapat berperan dalam pembuatan sistem, perangkat, maupun landasan hukum untuk PICT. Dalam pembuatan sistem dan perangkat, pemerintah membuat suatu guideline atau petunjuk untuk menjalankan PICT di Indonesia serta upgrading/ pelatihan dan sertifikasi untuk para provider kesehatan yang dapat melakukan PICT. Petugas kesehatan perlu diberikan pelatihan khususnya pada aspek konseling yang sangat dibutuhkan pada PICT. Selain itu, pemerintah perlu membuat landasan hukum bagi penerapan PICT dalam bentuk SK Menteri Kesehatan sehingga dapat mendorong berbagai instansi untuk melaksanakan PICT ini di berbagai daerah di Indonesia. Walaupun PICT sudah dilakukan pada beberapa tempat, seperti RSUD Dr.Soetomo di Surabaya, akan tetapi belum dijalankan secara luas. Sosialisasi program PICT oleh pemerintah juga perlu dilakukan dengan baik agar tidak menuai pro kontra dari masyarakat.
PICT ini juga harus ditunjang dengan peningkatan pada aspek promotif dan preventif di masyarakat. Pemerintah, LSM, dan berbagai instansi lain harus bekerja sama dalam melakukan promosi dan prevensi mengenai HIV/ AIDS. Aspek promosi yang sedikit luput dari perhatian adalah mengenai pendidikan seks usia dini di sekolah. Pemerintah, dalam hal ini Mentri Pendidikan, dapat membuat suatu kurikulum mengenai pendidikan seks yang terintegrasi dengan kurikulum sekolah. Kurikulum mengenai pendidikan seks ini tentunya tidak boleh serta merta “menjiplak” kurikulum dari negara lain, akan tetapi harus disesuaikan dengan kondisi social budaya di Indonesia yang menganut adat “Timur”. Untuk aspek promotif dan preventif lainnya sudah banyak dilakukan oleh negara kita, seperti program 100% kondom, substitusi methadon, dan lain sebagainya. Lalu apa kaitannya dengan optimalisasi PICT? Optimalisasi pada aspek promosi dan prevensi dapat membuat masyarakat lebih mawas diri terhadap berbagai faktor risiko, gejala, dan bahaya penyakit HIV/ AIDS. Dengan adanya pengetahuan tersebut, masyarakat akan lebih tergerak untuk melakukan PICT.
Selanjutnya, yang terakhir adalah Care Support and Treatment (CST) di Indonesia masih terbatas pada pengadaan obat-obatan saja. Berbeda dengan Thailand, dimana setiap ada kasus HIV positif di anggota, akan diberikan pelatihan di keluarga tersebut, dan selanjutnya diberikan modal kerja senilai 8 juta rupiah, sehingga akan membantu penghasilan untuk anggota yang disable (penderita HIV/AIDS) tadi. Sementara, di Indonesia meski obat antiretroviral (ARV) gratis, namun akses mendapatkannya masih sulit, belum lagi tes CD4+ dan virus load yang masih harus ditanggung secara mandiri. Lalu apa hubungannya CST dengan optimalisasi CST? CST yang baik, terutama pada aspek support/ dukungan, dapat membentuk suatu paradigma baru di kalangan masyarakat terkait penderita HIV/ AIDS. Paradigma atau stigma yang baik tersebut, dibentuk oleh adanya suatu contoh bahwa penderita HIV/ AIDS juga memiliki kualitas hidup yang baik, dapat berinteraksi sosial dengan lingkungannya, bahkan masih bisa bekerja dan berkarya. Paradigma tersebut akan memunculkan suatu pemikiran bahwa penderita HIV/ AIDS tidak selamanya buruk, sehingga keengganan untuk melakukan PICT dapat berkurang.
Bedasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa optimalisasi PICT di Indonesia merupakan suatu solusi kunci bagi permasalahan HIV/ AIDS di Indonesia. Optimalisasi PICT harus mendapatkan perhatiana dari berbagai pihak terutama pemerintah dan kalangan swasta. Optimalisasi PICT di Indonesia juga sangat terkait dengan bidang lain yaitu peningkatan political will dari pemerintah, perluasan cakupan/ daerah penyedia layanan PICT, peningkatan pada aspek preventif dan promotif, serta optimalisasi CST (care, support, and treatment). PICT yang optimal, dapat menjadikan upaya deteksi dini HIV/ AIDS di Indonesia menjadi lebih baik. Deteksi dini dapat mencegah penderita HIV yang tidak tahu bahwa dirinya terinfeksi untuk tidak menularkan HIV kepada orang lain. Selain itu, dengan adanya deteksi dini, penderita HIV/AIDS dapat menjani terapi obat antiretroviral (ARV) sedini mungkin karena pengobatan sejak dini dapat meningkatkan efektivitas pengobatan HIV/AIDS dan meningkatkan harapan hidup penderita.
Sumber: http://dokterrahmat.wordpress.com/2011/11/03/optimalisasi-pict-provider-initiated-counseling-and-testing-sebagai-solusi-utama-bagi-permasalahan-hivaids-di-indonesia/